

Menyalakan Pelita Literasi: Inovasi Pengajar Muda dalam Mengatasi Tantangan Membaca di Daerah 3T
Apa jadinya jika seorang anak tumbuh besar tanpa pernah memegang buku cerita? Di banyak wilayah Indonesia, ini bukan sekadar kemungkinan—ini kenyataan.
Tantangan Literasi di Indonesia
Berdasarkan data UNESCO tahun 2022, tingkat literasi masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas telah mencapai 96%. Namun demikian, masih terdapat sekitar 8 juta orang yang belum memiliki kemampuan dasar membaca—sebuah angka yang mencerminkan tantangan serius dalam mewujudkan pemerataan literasi di seluruh wilayah Indonesia.
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural. Salah satunya adalah belum meratanya akses terhadap buku dan bahan bacaan yang berkualitas, terutama di daerah-daerah terpencil. Anak-anak di wilayah tertentu kesulitan menemukan sumber bacaan yang beragam karena perpustakaan yang terbatas, distribusi buku yang tidak merata, dan keterbatasan fasilitas literasi lainnya. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap penguatan literasi berbasis gerakan masih belum optimal, baik dari segi kebijakan maupun implementasinya di lapangan.
Di sisi lain, faktor sosial dan budaya turut memperparah kondisi rendahnya literasi. Keterlibatan keluarga dalam membangun kebiasaan membaca di rumah masih sangat minim, sehingga anak-anak tidak terbiasa mengakses informasi melalui buku sejak dini. Masyarakat sekitar pun belum sepenuhnya aktif dalam membentuk ekosistem literasi yang mendukung perkembangan kemampuan anak, seperti kegiatan membaca bersama, taman baca, atau inisiatif literasi berbasis komunitas.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi semakin kompleks di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Karakteristik daerah 3T seperti keterbatasan akses pendidikan, minimnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang pendidikan, serta infrastruktur dasar yang belum memadai menjadikan tantangan literasi di wilayah ini jauh lebih besar dan mendesak untuk diatasi.
Belajar Tak Lagi Membosankan: Menjawab Tantangan Literasi lewat Metode Kreatif
Untuk mengatasi tantangan tersebut secara menyeluruh, penting untuk memahami bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami dan menafsirkan informasi serta mengemukakan pendapat dalam berbagai bentuk di kehidupan sehari-hari. Kemampuan menjadi bekal penting agar seseorang dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang efektif untuk menumbuhkan kemampuan literasi, salah satunya melalui penerapan metode belajar kreatif. Metode ini merupakan pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman dan eksplorasi yang melibatkan media digital, proyek kolaboratif, permainan, dan bentuk interaktif lainnya. Fokusnya adalah pada peningkatan rasa ingin tahu, imajinasi, dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran mereka.
Berbeda dengan metode pembelajaran tradisional yang masih banyak digunakan di sekolah, metode belajar kreatif dinilai lebih relevan dan berpotensi menghasilkan capaian belajar yang lebih baik. Metode tradisional cenderung menekankan hafalan dan ceramah satu arah yang membatasi partisipasi aktif siswa serta tidak memberi cukup ruang untuk menyampaikan pendapat atau membentuk pemahaman secara mandiri. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya dan sosial, metode belajar kreatif juga dapat menjadi sarana yang inklusif dan kontekstual untuk menyampaikan materi pembelajaran yang relevan dengan kehidupan nyata siswa.
Tiga Cerita dari Lapangan
Strategi-strategi kreatif dalam literasi ini bukan hanya sekedar wacana. Di lapangan, Pengajar Muda Indonesia Mengajar merumuskan dan menjalankan inisiatif yang menyentuh langsung kehidupan siswa dan masyarakat sekitar. Berikut adalah tiga kisah nyata dari lapangan.
Cerita dari Desa Fadorobahili, Nias Barat: Literasi Klub Bersama Indah
Indonesia merupakan wilayah majemuk dengan keberagaman kepercayaan dan budaya. Hal ini memengaruhi cara suatu kelompok masyarakat menerima dan mengolah informasi, sehingga diperlukan pendekatan yang relevan dengan keseharian mereka untuk meningkatkan kemampuan literasi. Di Nias Barat, wilayah kepulauan terpencil di barat Sumatera Utara, misalnya. Indah—Pengajar Muda angkatan 27—menggerakan kepala sekolah dan guru SD Negeri 077307 Fadorobahili untuk memanfaatkan koleksi buku yang menggunung dengan mendirikan ekstrakurikuler bertajuk “Literasi Klub”.
Ekstrakurikuler yang diresmikan pada 13 Februari 2025 di SD Fadorobahili ini melakukan kegiatan pembiasaan membaca setiap hari Sabtu selama 20–30 menit. Literasi Klub memancing antusias dan memunculkan banyak pertanyaan yang jarang dipelajari sehari-hari di sekolah. Mulai dari topik terkait antariksa, hewan-hewan purba, hingga pengetahuan umum lainnya. Bahkan, di hari-hari biasa, para siswa seringkali merengek untuk diajak ke perpustakaan.
Berdirinya Literasi Klub menarik perhatian Ketua Dinas Perpustakan dan Kearsipan Nias Barat sehingga hari peresmian perpustakaan dan pelantikan pengurus Literasi Klub dihadiri oleh beliau. Bahkan, perpustakaan tempat ekstrakurikuler ini dilaksanakan dijadikan perpustakaan percontohan untuk sekolah lain karena dekorasinya yang unik.
Cerita dari Desa Togimbogi, Nias Barat: Home Visit Bersama Tasbi
Masih di wilayah Nias Barat, Desa Togimbogi—yang berbatasan langsung dengan pantai dan menjadi tempat pengabdian Tasbi, Pengajar Muda angkatan 27—mayoritas penduduknya merupakan pekerja di sawah dan ladang penyadap karet yang aktivitasnya dilakukan dari pagi hingga malam hari. Biasanya, anak-anak turut serta membantu orang tuanya sepulangnya mereka dari sekolah. Tasbi seringkali mengunjungi rumah para siswa yang dekat dengan kediamannya untuk mengajak para orang tua agar ikut terlibat dalam peningkatan pendidikan dan mendampingi kegiatan belajar anaknya di rumah. Kegiatan ini Tasbi namakan sebagai “Home Visit”.
Home Visit ini diinisiasi dengan memfasilitasi siswa untuk belajar dengan Enuma, aplikasi penunjang pendidikan bersama orang tuanya yang membersamai kegiatan belajarnya. Selain mendampingi proses pembelajaran, peran orang tua di sini adalah untuk mendiskusikan apa yang menjadi minat si anak dan bagaimana orang tua dapat memenuhi kebutuhan untuk pengembangan minat anak tersebut.
Selain dilakukan pada saat Home Visit, pembelajaran menggunakan Enuma juga dilaksanakan pada waktu sekolah secara bergantian sesuai jadwal. Enuma menjadi primadona di kalangan anak-anak. Bahkan anak-anak tak henti-hentinya menanyakan kapan giliran mereka untuk bermain dengan Enuma. Antusiasme ini juga dibuktikan dengan kedatangan para siswa ke kantor secara mandiri untuk belajar. Saat ini, Enuma hadir layaknya angin segar di tengah proses pembelajaran yang monoton dan satu arah. Namun, mimpi Tasbi tidak berhenti sampai di sini. Menurut beliau, Enuma terbukti mampu menambah perbendaharaan kata dan sebagai wadah pengenalan berbagai hewan dan benda bagi para siswa. Harapannya, Enuma dapat mendampingi para siswa sampai akhirnya mereka terbiasa untuk membaca dan memiliki kemampuan literasi yang mumpuni.
Cerita dari Desa Tokelemo, Sigi: Memantau Perkembangan Literasi Bersama Arya
Beralih ke Sigi, Sulawesi Tengah, sebuah wilayah pegunungan di jantung pulau tersebut, salah satu praktik kreatif yang dilakukan Arya, seorang Pengajar Muda di SDN Tokelemo, Kecamatan Kulawi Selatan, dalam upaya peningkatan literasi adalah menginisiasi gerakan literasi yang berangkat dari hasil asesmen kondisi literasi peserta didik. Inisiatif ini bermula dari diskusi Arya dengan Bu Sutinah, salah satu guru progresif di sekolah tersebut, yang menyampaikan kekhawatirannya terhadap kemampuan literasi anak-anak yang belum optimal. Menyadari pentingnya langkah awal yang tepat, Arya bersama guru-guru lainnya melakukan asesmen diagnostik sederhana yang mencakup asesmen lisan, tertulis, serta observasi langsung. Asesmen ini ditujukan untuk menilai sejauh mana kemampuan membaca dan menulis siswa telah sesuai dengan jenjang kelasnya saat ini.
Hasil asesmen kemudian ditindaklanjuti melalui beberapa kegiatan rutin. Setiap hari, siswa mengikuti sesi membaca di 30 menit pertama sebelum pelajaran dimulai. Di kelas juga disediakan pojok baca dengan berbagai buku bacaan anak yang menarik. Setelah membaca, siswa diminta mencatat apa yang mereka baca dalam sebuah laporan sederhana. Kebiasaan ini perlahan membentuk rutinitas yang mendorong minat baca anak-anak secara alami.
Respons siswa terhadap program ini cukup menggembirakan. Banyak dari mereka menunjukkan antusiasme tinggi dan bahkan secara aktif meminta buku bacaan baru. Namun, perubahan tidak selalu mudah. Ada juga sebagian siswa yang merasa keberatan, terutama mereka yang masih mengalami kesulitan memahami bacaan. Meski begitu, proses adaptasi ini menjadi bagian penting dari upaya membangun budaya literasi yang berkelanjutan.
Untuk mendukung proses tersebut, Arya mengembangkan Kartu Literasi sebagai alat bantu pemantauan perkembangan siswa. Di dalam kartu ini, siswa mencatat aktivitas membaca dan menulis mereka, termasuk pencapaian yang telah diraih. Tak hanya itu, terdapat pula bagian refleksi bulanan yang memungkinkan siswa mengevaluasi perjalanan literasinya sendiri. Kartu ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan, tetapi juga sebagai media refleksi dan motivasi belajar.
Tentu saja, dalam pelaksanaannya program ini menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait keberlanjutan. Tidak semua guru terbiasa menjalankan program literasi yang terstruktur dan konsisten. Namun, Arya telah menyiapkan berbagai format panduan yang akan diserahkan kepada guru-guru potensial di sekolah. Harapannya, meskipun ia tak lagi bertugas di desa, semangat literasi tetap tumbuh dan dijaga bersama.
Bagaimana Kabarnya Sejauh Ini?
Metode belajar kreatif untuk peningkatan literasi yang dijalankan Pengajar Muda menunjukkan hasil yang menggembirakan, tapi juga menyisakan tantangan. Literasi Klub di Desa Fadorobahili misalnya, masih bergantung pada keberadaan Pengajar Muda, karena keterlibatan guru belum sepenuhnya stabil. Saat PM tidak ada, kegiatan membaca kerap terhenti, dan perpustakaan kurang terurus. Begitu pula dengan pemanfaatan Enuma, yang belum bisa berjalan mandiri karena inisiatif guru penggerak masih minim. Di Sigi, upaya asesmen literasi yang dilakukan Arya sudah mulai membuahkan hasil, meski tak semua guru terbiasa menjalankan program terstruktur. Namun, langkah-langkah berkelanjutan telah dipersiapkan agar semangat literasi tetap hidup setelah masa tugas PM berakhir.
Namun, harapan terus tumbuh. Seperti kata Indah,
“Aku berharap, di pulau kecil ini, anak-anakku bisa melihat luasnya dunia lewat buku-buku yang mereka baca, dan suatu hari nanti bisa berkunjung ke tempat-tempat indah itu.”
Tasbi pun menambahkan,
“Dengan optimalisasi penggunaan aplikasi Enuma, kami berharap dapat menjadi media pengenalan literasi numerasi yang menyenangkan dan berdampak bagi anak-anak, sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan numerasi dengan lebih baik dan percaya diri.”
Perjuangan Indah, Tasbi, dan Arya adalah secuil cermin dari ribuan Pengajar Muda lain yang menyalakan obor literasi di sudut-sudut negeri. Di tengah keterbatasan, mereka tak hanya mengajar—mereka menginspirasi.
Penulis: Syahrani Putri Hasbullah (IMagang Monev PM), Aliyya Ilma Shafani (Monev PM Officer)
Kini saatnya kita ambil bagian. Dukung Indonesia Mengajar. Karena setiap buku yang dibaca, setiap anak yang bermimpi, adalah harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih terang.
Klik di sini untuk berdonasi: https://indonesiamengajar.org/iuran
Referensi:
-
UNESCO Institute for Lifelong Learning. (2022). Indonesia – Country Profile on Literacy and Lifelong Learning. Diakses dari https://www.uil.unesco.org/sites/default/files/medias/files/2022/11/gal_country_profiles_indonesia.pdf?hub=90
-
Fitrananda, A. F. (2020). Praktik Kultural Komunitas Rumah Literasi Indonesia dalam Mengembangkan Literasi Pariwisata di Kabupaten Banyuwangi. Doctoral Dissertation, Universitas Airlangga).
-
Portier, C., Friedrich, N. and Peterson, S.S. (2019) ‘Play(ful) pedagogical practices for creative collaborative literacy’, The Reading Teacher, 73(1), pp. 17–27. Available at: https://www.jstor.org/stable/26801689
-
Lane, L.A. (2015) Reciprocal relationships and creative expression in literacy learning: Ameliorating disability circumstances by empowering individuals. Doctoral dissertation. University of New Mexico, Albuquerque, New Mexico.