Saat “Kacamata” Kita Kerap Luput Menengok Kabar Pendidikan Bangsa
2 Mei 2025Tahun 2025 terasa sebagai masa penuh kegelisahan bagi banyak orang di Indonesia. Harapan terasa meredup, impian tampak menjauh, dan perjalanan bangsa seakan menemui jalan terjal. Isu ekonomi, ketenagakerjaan, dan dinamika politik kerap menyita perhatian kita. Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu hal penting yang nyaris luput dari sorotan: pendidikan.
Bagaikan jendela yang diliputi kabut, pandangan kita menjadi samar terhadap hal yang seharusnya menjadi prioritas masa depan bangsa. Kita terlalu sibuk membicarakan kekuasaan dan harga pasar, hingga lupa menengok pendidikan yang diam-diam menanti perhatian.
Pernahkah kita mendengar cerita tentang anak SMP yang masih kesulitan membaca lancar? Atau siswa SMA yang belum mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang pengetahuan umum? Mungkin juga kita pernah membaca kabar tentang relasi guru dan murid yang memprihatinkan. Berbagai kisah ini seolah menjadi isyarat bahwa kondisi pendidikan kita sedang butuh perhatian lebih serius. Setelah hampir delapan dekade merdeka, perjalanan pendidikan bangsa masih menghadapi tantangan yang tak ringan.
Kita masih kerap terjebak dalam pemahaman sempit bahwa nilai akademik adalah satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Padahal, esensi pendidikan jauh melampaui itu. Ia adalah jalan untuk membentuk manusia seutuhnya—yang berpikir kritis, memiliki empati, dan mampu berdiri tegak sebagai warga bangsa.
Jika kita bisa menilik kisah perjuangan pahlawan yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan Indonesia, pendidikan seperti apa yang sebenarnya para pahlawan impikan? Sudahkah kita berjalan searah dengan cita-cita luhur itu?
Pendidikan di Indonesia Ada Karena Perjuangannya
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau yang lebih kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, adalah sosok penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Lahir pada 2 Mei 1889, beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal lahirnya kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebagai penghormatan atas jasa dan perjuangannya.
Ki Hajar Dewantara lahir di lingkungan bangsawan Jawa sehingga mudah untuk beliau mendapatkan pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau menjadi seorang jurnalis dan redaktur di beberapa surat kabar, seperti De Express, Utusan Hindia, dan Kaoem Moeda. Ki Hajar Dewantara menuliskan kritikan-kritikan keras kepada pemerintah Hindia Belanda, khususnya tentang sistem pendidikan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah Hindia Belanda hanya memperbolehkan anak-anak Hindia Belanda dan kaum ningrat Indonesia yang mendapatkan pendidikan. Anak pribumi tidak diperbolehkan.
Dikutip dari Sedesa.id, Ki Hajar Dewantara tetap mendedikasikan dirinya pada pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman Siswa usai masa pengasingannya. Beliau melawan sistem kolonial saat itu dan memberikan kesempatan pada pribumi untuk merasakan manisnya pendidikan. Ki Hajar Dewantara membuktikan bahwa seseorang dari Indonesia bisa mendirikan sebuah sekolah setara dengan sekolah pemerintah Belanda, meskipun harus mendapat hinaan dan ketidakpercayaan dari pribumi. Bahkan, Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pendidikan terkenal di Indonesia (Geli et al, 2022).
Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya tentang melawan Hindia Belanda atas hak pendidikan pribumi. Sejatinya, Ki Hajar Dewantara berjuang untuk membangun karakter dan kemandirian bangsa, serta melestarikan budaya Indonesia melalui Taman Siswa. Lebih dari sekadar lembaga pendidikan, Taman Siswa mengusung nilai-nilai kebangsaan, kemandirian, dan kebudayaan. Pendidikan versi Ki Hajar Dewantara tidak hanya fokus pada aspek intelektual, tetapi juga pada pembentukan moral dan karakter. Ia percaya bahwa bangsa yang kuat harus dibangun dari manusia-manusia yang utuh, yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. (Geli et al, 2022).
Bagaimana Kabar Pendidikan Indonesia Saat Ini?
Hampir satu abad sejak berdirinya Taman Siswa, semangat dan arah perjuangan pendidikan kita menghadapi tantangan yang berbeda. Kini, akses pendidikan semakin terbuka, tetapi perhatian dan kepedulian terhadap prosesnya justru memudar di beberapa tempat. Ada kalanya semangat belajar menurun, dan pendidikan dianggap bukan lagi kebutuhan yang penting untuk masa depan.
Di era 1922-1930, pendidikan adalah kemewahan bagi pribumi. Di tengah kesulitan itu, Ki Hajar Dewantara menanamkan semangat nasionalis dan keyakinan bahwa pendidikan adalah senjata untuk memerdekakan Indonesia. Berkebalikan dengan zaman dahulu. Sekarang, anak-anak –dari SD hingga SMA– menyepelekan pendidikan dan motivasi belajar mereka menurun. Mereka menganggap pendidikan bukan lagi sebuah kebutuhan untuk masa depan sehingga berimbas pada kualitas belajar anak-anak.
Kesenjangan juga masih menjadi catatan penting. Di beberapa kota besar, anak-anak bisa menikmati pendidikan dengan fasilitas lengkap dan pendukung belajar yang memadai. Namun, di banyak wilayah lain, anak-anak harus menempuh perjalanan jauh atau menghadapi keterbatasan fasilitas demi bisa belajar. Buku pelajaran yang terbatas, jumlah guru yang tidak sebanding, dan sarana sekolah yang belum optimal menjadi tantangan nyata yang masih harus kita benahi bersama. Anak-anak di pelosok negeri harus melakukan usaha berlipat-lipat kali lebih keras supaya bisa hadir di kelas.
Selain soal akses dan fasilitas, kualitas pengajar juga menjadi aspek penting. Guru bukan hanya penyampai materi, tapi juga pendidik nilai dan inspirator bagi generasi muda. Namun, tidak semua guru hari ini memiliki kesempatan yang setara dalam hal pengembangan diri dan kesejahteraan. Padahal, jika kesejahteraan guru benar-benar terjamin, pasti akan lebih banyak sosok cerdas dan berdedikasi yang memilih menjadi guru. Bagai oase di tengah gersangnya gurun –tantangan dunia pendidikan– profesi guru bisa jadi harapan dan kesempatan menyebarkan manfaat. Karena ketika guru dimuliakan, generasi muda pun ikut ditumbuhkan.
Cita-Cita yang Harus Kita Hidupkan Kembali!
Berbicara tentang pendidikan, artinya juga berbicara tentang kemajuan suatu bangsa. Pendidikan dianggap sebagai “ujung tombak” sebuah bangsa untuk menjadi bangsa yang maju. Membenahi sistem dan lebih menghargai pendidikan adalah sebuah investasi “leher ke atas” dalam jangka panjang. Hasilnya tidak instan, tidak juga terlihat dengan cepat. Tapi, pembenahan pendidikan bisa jadi sebuah “plot twist” dalam cerita perjalanan bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045. Aku, kamu, dan kita semua punya tugas penting. Tugas untuk melanjutkan perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam memerdekakan bangsanya melalui pendidikan. Jadi, maukah kamu meneruskan semangat beliau dan tetap menggunakan “kacamata”-mu untuk selalu menengok kabar pendidikan bangsamu?
Konten Lainnya Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda